Di dalam gang mereka mulai berkawan. Tumbuh besar bersama dengan macam pergaulan. Kini, dari dalam gang pula mereka mencoba peruntungan.
EKSPOSKALTIM, Bontang- Tidak ada yang berbeda dari Gang 21 Brother di Kelurahan Lhoktuan, Bontang Utara sore itu, Minggu (30/4). Aktivitas warga gang yang lebih dikenal dengan nama Gang Tator itu tampak biasa.
Sebuah rumah dengan halaman yang tak seberapa luas nampak sedikit sibuk. Beberapa pemuda asyik dengan perkakas masing-masing. Sudah enam bulan belakangan mereka yang sama-sama besar di dalam gang ini mencoba peruntungan.
Tumpukan-tumpukan kayu yang berserak menjadi “korban” kreativitas. Kayu yang nampak biasa saja menjelma menjadi hiasan indah. Sulitnya mendapat pekerjaan membuat peluang-peluang bisnis bermunculan. Seperti yang kini mereka lakoni.
Alasan lain yang memotivasi mereka, tentu saja ingin menepis anggapan negatif pemuda-pemuda gang yang urakan nyaris tak berguna. Maklum saja, lingkungan tempat tinggal mereka dikenal cukup keras. Ditambah tampilan gondrong, bertato dan bertindik.
Usaha kerajinan kayu yang diberi nama Play Wood Art Gang 21 Brother mungkin terdengar sedikit aneh dan asing. Namun di balik nama tersebut ada cerita yang membuat sekelompok pemuda ini tetap solid hingga saat ini. Masa kecil dengan canda tawa, baik siang ataupun malam dalam gang setiap hari terus berulang hingga memutuskan memberi nama Gang 21 Brother.
“Di depan gang itu ada warung makan tempat nongkrong setiap hari. Kalau mau makan selalu pesan mi instan dua dan dicampur telur satu. Jadi mi instan dua dan telurnya satu. Karena itu suatu perkumpulan, makanya gang tempat kami bermain diberi nama Gang 21 Brother,” kata Meghy kepada Ekspos Kaltim.
Meghy mengakui, kehidupannya dan teman semasa kecil hingga dewasa kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat maupun sebagian orangtua mereka. Karena pergaulan tinggal di dalam gang yang dinilai negatif.
“Di antara kami sebenarnya tidak ada yang tidak sekolah. Cuma, ketatnya persaingan di dunia kerja membuat kami tersingkir dan keseharian kami terlihat seperti pemuda nakal yang tidak memiliki pekerjaan,” tambah Meghy sembari mengingat masa lalu.
Menjalin persahabatan hingga puluhan tahun, tidak begitu mudah bagi sebagian orang. Najibullah, salah satu dari sekelompok pemuda yang terdiri kurang lebih sepuluh orang ini memiliki Ide cemerlang. Hingga akhirnya mereka mantap membuka usaha bersama.
"Waktu itu saya lulus kuliah di Unmul. Saya bingung mau kerja apa, berfikir membuka usaha dan menawarkan kepada teman-teman untuk menjalankan usaha kerajinan ini. Dan kenapa saya memilih usaha ini, karena di Bontang sangat jarang kita jumpai bahkan tidak ada," ucap pria berkacamata itu.
Seiring berjalannya waktu, tepat pada Oktober 2016 lalu, dengan kemampuan yang terbatas, baik skill maupun modal, kawan lainnya menyambut baik ide tersebut.
Aco, sapaan akrab Aco Sandy merupakan pemodal awal untuk memulai dan menjalankan bisnis tersebut. Karena merasa kurang, ia mengajak beberapa teman patungan menambah modal. Namun belakangan masalah muncul karena kesalahpahaman yang tidak semestinya. Sang teman memilih mundur. Aco memilih tidak gusar dan terus melanjutkan mimpinya hingga kini.
“Dana saya di awal sekitar Rp 5,5 juta. Itulah yang kami gunakan untuk membeli alat, seperti ketam, kayu, amplas, dan alat lainnya," tutur Aco.
Pelbagai kerajinan yang dibuat dari kayu, seperti bingkai foto, jam, hiasan dinding, patung, meja, kursi, dan lainnya, mampu mengantarkan para pemuda ini ke arah yang lebih positif dan menginspirasi, khususnya pemuda di Kota Taman.
Layaknya sebuah usaha tentu memiliki kendala. Aco mengaku sangat sulit memperoleh bahan baku sebagai bahan pembuatan kerajinan tersebut.
“Kayu yang kita pakai Jati Belanda. Kita datangkan dari pulau Jawa. Kenapa kita memilih kayu ini, karena cukup kuat, tidak dimakan rayap, dan memiliki corak tersendiri yang cocok untuk dibuat kerajinan dari kayu," cetusnya.
Untuk mendatangkan kayu Jati Belanda dari pulau Jawa, tentu biaya cukup berbeda ketimbang mengambil dari daerah sendiri. Setiap membeli kayu, tidak kurang dari satu kubik dengan harga per batangnya kurang lebih Rp 7 ribu, belum termasuk biaya pengiriman.
"Sebenarnya di PT Pupuk Kaltim bisa kita beli kayu di situ. Cuma prosesnya cukup panjang, baru kita bisa keluarkan kayunya. Jadi selama ini kita beli lewat online dari Surabaya," imbuhnya.
Meski begitu, berkat kerja keras dan kegigihan bersama, walaupun baru berjalan kurang lebih 6 bulan, usaha ini cukup dikenal. Tak hanya di Bontang, tapi juga di kota lainnya, seperti Sangatta, Samarinda, bahkan sampai ke pulau Jawa hingga luar negeri.
Selain itu, pembuatan kerajinan itu akan mengikuti sesuai dengan keinginan pemesan. Begitu pun dengan harga atau biaya, juga disesuaikan dengan tingkat kesulitannya yang dikerjakan.
"Jadi kita tidak patok harga. Kita liat dananya yang pesan, selama masih menguntungkan kita akan buatkan," katanya.
Aktivitas Play Wood Art Gang 21 Brother mengerjakan pesanan konsumen. Tidak hanya di Bontang, konsumen mereka sampai di luar negeri.
Modal minim hasil patungan dirasa sulit memenuhi bejibun pesanan. Perhatian pemerintah atau perusahaan besar di Bontang sangat diharapkan untuk mengembangkan usaha yang lebih besar.
"Kita butuh bantuan juga sebenarnya. Semoga pemerintah maupun perusahaan tidak pura-pura buta melihat kami yang butuh modal,” ucapnya.
Meski baru berjalan enam bulan. Usaha ini sudah beromzet Rp 15-20 juta setiap bulan. Namun, omzet tersebut belum tercukupi mengingat alat dan bahan juga cukup mahal.
Aco menambahkan, sebenarnya usaha ini selain mengembangkan kreativitas pemuda, juga dibentuk sebagai wadah agar teman atau kawannya sejak kecil ini bisa kembali berkumpul bersama.
Untuk itu, mereka berpesan kepada generasi muda Bontang agar tetap berkreasi. Tidak patah semangat.
“Karena sesungguhnya rezeki itu tidak akan mengkhianati dari usaha dan kerja keras,” katanya.








Untuk mengirim komentar, silahkan login atau registrasi terlebih dahulu !