Balikpapan, EKSPOSKALTIM – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalimantan Timur mulai menyelidiki dugaan pencemaran lingkungan oleh PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) di perairan Muara Badak, Kutai Kartanegara.
Selasa (1/7/2025), dua nelayan, Muhammad Yusuf dan Muhammad Yamin, dimintai keterangan penyidik. Keduanya merupakan pelapor kasus ini melalui Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak.
Sebelumnya, Kamis (5/6/2025), koalisi tersebut telah mengajukan laporan resmi ke Polda Kaltim. Dugaan pencemaran ditengarai terjadi sejak akhir 2024 di pesisir Muara Badak.
Koordinator Pusat Advokasi Kalimantan Timur (Pusaka), Muhammad Taufik, yang mendampingi pemeriksaan, mengatakan kedua nelayan memberikan keterangan soal kerang darah yang mati, pencemaran air, hasil uji laboratorium, hingga kronologi pelaporan.
“Mas Yusuf dan Mas Yamin dimintai keterangan seputar kondisi lingkungan yang terdampak, seperti matinya kerang darah dan kualitas air yang tercemar. Mereka juga menyampaikan hasil uji laboratorium serta kronologi pelaporan pidana yang telah kami lakukan,” ujar Taufik.
Ia menegaskan pemeriksaan berlangsung kondusif. “Kami juga menyampaikan kepada penyidik soal permintaan transparansi terhadap hasil uji laboratorium dari Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup. Kami berharap laporan ini ditindaklanjuti secara tegas,” tambahnya.
Taufik juga melaporkan dugaan intimidasi terhadap Yusuf dan Yamin saat mengikuti aksi unjuk rasa. “Intimidasi yang mereka alami juga turut kami laporkan ke Polda,” ucapnya.
Menurut Taufik, bukti-bukti pencemaran cukup kuat. Ia berharap polisi bertindak tegas demi keadilan bagi nelayan.
Muhammad Yusuf menyebut ada sekitar 299 kepala keluarga nelayan terdampak di enam desa, dari pesisir Tanjung Limau hingga Saliki. Luas lahan budidaya kerang darah yang tercemar diperkirakan mencapai 1.000 hektare.
Ia memperkirakan kerugian nelayan mencapai Rp68,4 miliar akibat gagal panen sekitar 3.800 ton kerang darah yang sedianya dipanen Desember 2024 dengan harga jual Rp18.000/kg.
Laporan Balik
Empat nelayan Muara Badak yang memperjuangkan lingkungan kini justru dilaporkan balik oleh PHSS. Mereka adalah Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre.
Melalui Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak dan didampingi Pusaka Kaltim, mereka meminta perlindungan hukum kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq.
“Kami mohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi. Kami hanya menuntut hak atas lingkungan yang bersih dan sehat,” ujar Koordinator Koalisi, Mohammad Taufik, Rabu (2/7).
Permintaan itu merujuk Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Anti-SLAPP, yang melarang kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak lingkungan.
Kematian massal kerang darah terjadi Desember 2024 di enam desa. Lebih dari 299 petambak gagal panen. Total kerugian ditaksir mencapai Rp69 miliar.
Warga menduga pencemaran berasal dari aktivitas pengeboran minyak oleh PHSS—satu-satunya operator migas di kawasan itu. Dugaan ini diperkuat hasil pengambilan sampel oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman pada Januari 2025.
Hasilnya menunjukkan lonjakan bahan organik, lumpur yang mengganggu pernapasan kerang, serta indikasi infeksi bakteri dan parasit.
Warga pun menggelar unjuk rasa di depan kantor PHSS di Desa Gas Alam pada Januari dan Februari 2025. Namun, beberapa nelayan justru dipanggil polisi atas tuduhan penghasutan dan masuk tanpa izin ke area pengeboran.

