Kini, dari suara gesekan sorok di lahan berlumpur hingga dengung baling-baling drone di langit Bukit Biru, pertanian di Kukar mulai menulis babak baru: modern, berkelanjutan, dan berpihak pada petani.
Samarinda, EKSPOSKALTIM - Sorok itu bergerak perlahan di atas lahan sawah seluas satu borong. Di ujungnya, kedua tangan Paimin (55) tampak terampil menarik dan mendorong alat dari kayu dan besi itu. Ia memiliki 25 borong sawah di Kelurahan Bukit Biru, Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Di kawasan ini, satu borong berarti petak sawah berukuran 17 x 17 meter.
Sorok, alat manual untuk meratakan dan mengolah tanah, sudah lama jadi sahabat Paimin. “Sorok tidak pernah mengeluh, mau panas atau hujan tetap kerja,” ujarnya sambil menyeka keringat di dahinya, Senin pagi (3/11/2025). Ia mengolah tanah hingga benar-benar lembut seperti bubur, agar siap disemai sehari atau dua hari kemudian.
Musim ini, ia menanam padi jenis AGT 303, varietas unggul berumur 85–90 hari dengan beras pulen, wangi, dan batang kuat—cocok untuk sawah tadah hujan. Setelah 10–20 hari disemai, bibit akan dicabut lalu dipindah ke lahan lain. Pola semai, cabut, dan tanam ulang seperti ini menurutnya menghasilkan panen lebih bagus karena anakan tumbuh seragam.
“Biasanya saya tanam IR 32, tapi kali ini saya coba AGT 303. Berasnya lebih pulen dan wangi, hasilnya juga lebih tinggi,” katanya.
Paimin tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) Suka Maju, bagian dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Bukit Biru. Poktan ini beranggotakan 23 petani dengan ketua Abdul Sani. Rata-rata tiap petani menggarap satu hektare sawah, total sekitar 23 hektare.
Selama bertahun-tahun, sawah di kawasan ini bisa tanam dan panen dua kali setahun. Hasil rata-rata sebelumnya 3–4 ton gabah kering giling (GKG) per hektare per panen. Namun sejak awal tahun ini, Gapoktan Bukit Biru mampu mencapai rata-rata 6,2 ton per hektare—naik drastis dari sebelumnya.
“Kenaikan ini berkat pendampingan dan pembinaan dari Bank Indonesia. Kami juga pakai drone untuk penyemprotan. Ada tiga petani muda yang dilatih dan bersertifikat jadi operator,” katanya.
Panen Naik 74 Persen
Uji coba sistem pertanian Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) di Kukar sukses mendongkrak produktivitas padi dari 3,6 ton menjadi 6,2 ton per hektare, atau naik sekitar 74 persen. Sistem LEISA mendorong modernisasi pertanian dengan pemanfaatan drone sprayer agriculture dan praktik ramah lingkungan.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kalimantan Timur, Budi Widihartanto, menyebut penerapan sistem ini bagian dari strategi jangka panjang memperkuat ketahanan pangan daerah sekaligus menekan laju inflasi.
“Dari uji coba di Kelurahan Bukit Biru, hasilnya meningkat signifikan. Kami optimistis suplai bahan pokok bisa terpenuhi dari lokal Kaltim, dan kesejahteraan petani ikut naik,” ujar Budi.
Dua kelompok tani terlibat dalam uji coba ini, yakni Gapoktan Citarum dan Gapoktan Suka Maju. Masing-masing mencatat hasil panen 5,3 ton dan 7,23 ton per hektare. Rata-ratanya 6,2 ton GKG per hektare.
BI Kaltim juga menjalankan program serupa di Samarinda, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Mahakam Ulu. Program ini mendukung agenda Asta Cita Swasembada Pangan Nasional, dengan menggandeng pemerintah daerah, forkopimda, dan perguruan tinggi.
Selain pendampingan, BI Kaltim menyalurkan bantuan alat pertanian modern, mulai dari drone sprayer, smart farming tools, sumur bor, hingga kandang sapi untuk pertanian terintegrasi—jerami untuk pakan, kotoran sapi untuk pupuk.
Di Bukit Biru, panen telah dilakukan dua kali pada 2025, yakni Mei dan September. “Panen ini akan berlanjut dengan kolaborasi pemerintah dan perguruan tinggi. Kami yakin swasembada pangan Kaltim bisa tercapai,” kata Budi.
Pertanian Organik dan Harapan Baru
Bupati Kutai Kartanegara Aulia Rahman Basri menilai inovasi ini berhasil dan akan diterapkan secara massal. Menurutnya, demplot seluas 10 hektare di Bukit Biru menunjukkan hasil luar biasa.
“Melalui sistem LEISA, kita bisa kurangi ketergantungan petani terhadap pupuk dan pestisida sintetis. Hasilnya lebih sehat, lingkungan lebih terjaga, dan aman dikonsumsi,” ujarnya.
Sistem ini mengoptimalkan sumber daya lokal dan memperkuat arah pertanian berkelanjutan. Pemerintah daerah berkomitmen memperluas penerapannya, dengan pendampingan intensif serta pelibatan generasi muda sebagai operator teknologi pertanian.

