Melalui pendekatan ilmiah, para peneliti kini berupaya memahami hubungan antara faktor oseanografi, genetik, dan tata kelola perikanan.
EKSPOSKALTIM, Samarinda - Selat Makassar yang membentang di antara Kalimantan dan Sulawesi tidak hanya berfungsi sebagai jalur utama arus lintas Indonesia, tetapi juga menyimpan potensi ekonomi yang besar bagi masa depan perikanan nasional.
Di bawah arus kuat yang mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia, tersembunyi kisah ilmiah tentang bagaimana laut membentuk dan menjaga keberlanjutan sumber daya yang menopang mata pencaharian juta masyarakat pesisir Indonesia.
Melalui pendekatan ilmiah, para peneliti kini berupaya memahami hubungan antara faktor oseanografi, genetik, dan tata kelola perikanan.
Salah satu penelitian penting yang memperkuat upaya ini dilakukan oleh Tri Ernawati, peneliti Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Jakarta sekaligus mahasiswa doktoral di Universitas IPB.
Melalui proyek bertajuk Genetic differentiation in populations of two snappers, Lutjanus malabaricus and Pristipomoides multidens, in the Makassar Strait and adjacent waters, Indonesia, dia memetakan struktur genetik dua spesies kakap bernilai ekonomi tinggi yang menjadi komoditas utama ekspor Indonesia.
Penelitian tersebut menjadi tonggak penting dalam penerapan sains untuk mendukung kebijakan ekonomi biru Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan memahami variasi genetik antarpopulasi ikan, pemerintah dapat merumuskan strategi pengelolaan stok yang lebih presisi, adil, dan berkelanjutan — sejalan dengan prinsip pemanfaatan sumber daya laut tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem.
Studi yang dilakukan Tri Ernawati berfokus pada dua spesies utama di perikanan demersal Indonesia, yaitu kakap merah malabar (Lutjanus malabaricus) dan kakap emas (Pristipomoides multidens), yang secara umum dikenal sebagai ikan dasar bernilai tinggi. Kedua spesies ini menjadi andalan nelayan di wilayah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713, yang mencakup Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone.
Di wilayah ini, kakap dan kerapu ditangkap dengan berbagai alat tangkap seperti rawai dasar, dropline, perangkap, dan jaring insang. Jenis alat tangkap tersebut merepresentasikan karakter khas perikanan rakyat Indonesia yang padat nelayan dan beroperasi dalam skala kecil hingga menengah. Meski demikian, tekanan penangkapan yang tinggi terhadap spesies bernilai ekonomi besar seperti kakap telah menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan stoknya dalam jangka panjang.
Untuk itu, diperlukan pemahaman ilmiah tentang apakah populasi kakap di Selat Makassar merupakan satu kesatuan genetik besar, atau justru terbagi ke dalam beberapa subpopulasi yang memiliki karakter berbeda. Pertanyaan inilah yang menjadi dasar dari proyek penelitian doktoral Tri Ernawati di IPB University, yang juga didukung oleh Student Research Grant dari Marine Stewardship Council (MSC) melalui Ocean Stewardship Fund.
Proyek tersebut mengumpulkan lebih dari 350 sampel jaringan ikan kakap dari berbagai titik di WPP 713. Sampel-sampel ini kemudian dianalisis dengan menggunakan penanda genetik DNA mitokondria (mtDNA) untuk mengidentifikasi variasi genetik antarwilayah dan memetakan struktur populasi ikan.
Dukungan MSC tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga strategis. Penelitian ini menjadi bagian dari Fishery Improvement Project (FIP) yang dijalankan oleh Kelompok Kakap Indonesia, bekerja sama dengan Asosiasi Demersal Indonesia (ADI) serta para pemangku kepentingan di sektor perikanan.
Hasilnya diharapkan dapat memperkuat dasar ilmiah bagi pengelolaan kakap yang lebih efisien dan berkelanjutan, sekaligus membantu Indonesia memenuhi standar keberlanjutan global yang menjadi syarat ekspor perikanan modern.
Kajian tersebut menunjukkan bahwa arus laut dan kedalaman perairan di Selat Makassar membentuk batas alami antara populasi ikan di sisi barat dan timur, serta bagian selatan yang terhubung ke Laut Flores.
Kakap merah malabar cenderung memiliki keseragaman genetik yang tinggi karena hidup di perairan dangkal dan memiliki mobilitas lebih besar. Sebaliknya, kakap emas menunjukkan perbedaan genetik yang nyata antara wilayah barat, timur, dan selatan, akibat terhalang oleh arus kuat dan perbedaan batimetri di perairan dalam.
Hasil ini memiliki arti strategis bagi pengelolaan perikanan di WPP 713. Jika sebelumnya kebijakan penangkapan didasarkan pada batas administratif, kini pemerintah dapat merujuk pada batas biologis yang lebih akurat — unit stok biologis — yang disusun berdasarkan data genetik. Dengan demikian, pengelolaan stok ikan dapat dilakukan secara spesifik lokasi dan spesifik spesies, memastikan pemanfaatan sumber daya tetap dalam batas lestari.
Dalam konteks ekonomi biru, temuan ini sejalan dengan visi KKP untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dalam kebijakan perikanan. Pendekatan berbasis data biologis akan membantu menetapkan kuota tangkap proporsional, memperkuat rencana pengelolaan perikanan adaptif, dan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan pelestarian ekosistem laut.
Efisiensi stok dan daya saing industri
Salah satu tantangan utama dalam perikanan Indonesia adalah keterbatasan data stok yang akurat. Selama bertahun-tahun, kebijakan penangkapan ikan kerap mengandalkan pendekatan administratif melalui sistem 11 WPP, yang tidak selalu mencerminkan realitas biologis di laut.
Padahal, pemahaman tentang struktur genetik populasi merupakan fondasi penting dalam menentukan daya dukung tangkapan lestari.
Riset genetika laut memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai bagaimana populasi ikan tersebar dan berinteraksi. Dengan mengetahui batas alami penyebaran suatu spesies, pelaku industri dapat menyesuaikan strategi penangkapan agar tidak menimbulkan tekanan berlebih di satu wilayah tertentu. Hal ini juga mendukung efisiensi rantai pasok perikanan, karena sumber daya dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengganggu keseimbangan stok.
Dalam konteks industri, hasil penelitian ini memperkuat peluang ekspor perikanan Indonesia. Spesies kakap dan kerapu merupakan komoditas unggulan yang banyak diekspor ke pasar Asia Timur dan Timur Tengah, di mana permintaan terus meningkat. Dengan pendekatan berbasis sains, Indonesia dapat menegaskan posisinya sebagai negara pengekspor ikan bernilai tinggi yang mengedepankan prinsip keberlanjutan dan sertifikasi ekolabel internasional.
Riset genetika yang dilakukan Tri Ernawati juga memperkuat upaya sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) di Indonesia. Sertifikasi ini menuntut adanya bukti ilmiah bahwa perikanan dikelola secara berkelanjutan berdasarkan data stok yang valid. Melalui dukungan riset lapangan dan kolaborasi antara BRPL, IPB, serta Asosiasi Demersal Indonesia, hasil penelitian ini menjadi bagian dari langkah nyata menuju perikanan bersertifikat MSC di masa depan.
Dalam kerangka besar kebijakan ekonomi biru, penelitian ini mencerminkan sinergi antara sains, industri, dan kebijakan publik. Data genetik yang diperoleh tidak hanya menjadi aset ilmiah, tetapi juga modal ekonomi yang dapat digunakan untuk memperkuat daya saing sektor perikanan Indonesia di pasar global.
Bagi KKP, pendekatan ini merupakan implementasi nyata dari transformasi pengelolaan perikanan menuju sistem berbasis sains dan data. Dengan memanfaatkan hasil penelitian genetika, pemerintah dapat mengoptimalkan rencana pemulihan stok ikan, mengatur alokasi tangkap lintas wilayah, serta memperkuat pengawasan berbasis data biologis.
Selat Makassar laboratorium ekonomi laut
Selat Makassar kini diakui sebagai wilayah strategis ekonomi laut nasional dan laboratorium alami bagi riset kelautan Indonesia. Kedalaman ekstrem yang mencapai ribuan meter di sisi Sulawesi dan paparan dangkal di sisi Kalimantan menjadikannya contoh nyata bagaimana topografi laut berperan dalam membentuk biodiversitas dan ekonomi.
Dari sisi ilmiah, wilayah ini memperlihatkan keterkaitan langsung antara arus laut, sejarah geologi, dan pola genetik spesies laut. Dari sisi ekonomi, Selat Makassar menyumbang porsi besar terhadap nilai tangkap kakap nasional — salah satu komoditas unggulan yang menopang ekspor hasil laut Indonesia. Kombinasi kedua aspek ini menjadikan kawasan tersebut titik temu antara keberlanjutan ilmiah dan produktivitas ekonomi.
Melalui riset genetika laut, Indonesia menunjukkan kapasitasnya untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar kebijakan ekonomi. Pendekatan seperti ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam forum internasional mengenai tata kelola perikanan berkelanjutan dan implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 14): Kehidupan di Bawah Air.
Sebagai proyek penelitian doktoral yang didukung pendanaan internasional, penelitian Tri Ernawati memperlihatkan bagaimana kolaborasi riset dan kebijakan dapat menciptakan manfaat nyata bagi industri dan masyarakat. Pendekatan ilmiah terhadap identifikasi stok ikan menjadi langkah awal menuju pengelolaan adaptif, di mana kebijakan tangkap dan konservasi berjalan berdampingan dengan kesejahteraan ekonomi nelayan.
Lebih jauh, riset ini memperkuat pesan penting dari MSC tentang pentingnya membangun kesadaran dan motivasi di kalangan pemangku kepentingan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut. Riset semacam ini diharapkan menghasilkan penilaian stok yang kuat dan kredibel, yang menjadi dasar bagi pengelolaan kakap dan kerapu di Indonesia menuju keberlanjutan sejati.
Pemanfaatan sumber daya laut berbasis sains kini menjadi arah kebijakan masa depan ekonomi nasional. Laut bukan lagi sekadar sumber bahan baku, tetapi juga sumber data dan inovasi. Dengan memahami genetik ikan, Indonesia tidak hanya membaca peta biodiversitasnya, tetapi juga menulis ulang strategi ekonominya.
Penelitian genetika di Selat Makassar memberikan gambaran bahwa keberlanjutan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap proses alam. Arus laut, kedalaman, dan variasi genetik yang terjadi di bawah permukaan menjadi fondasi tak kasatmata dari stabilitas ekonomi biru Indonesia.

